PATROLI HUKUM.COM, Jakarta - Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Selasa (24/03/2020) mengeluarkan jawaban atas pertayaan, “Bagaimana shalatnya tenaga medis yang dalam kondisi sibuk mengurus pasien Covid-19 dan menggunakan APD lengkap yang kesulitan berwudhu dan bertayamum untuk menjalankan shalat pada waktunya?”.
Jawaban tersebut muncul setelah sehari sebelumnya, usai bertemu dengan pimpinan BNPB, Wapres RI KH. MA’ruf Amin menyampaikan permintaan kepada Ormas Islam di Indonesia dan MUI untuk membahas hukum/fatwa dua perkara. Pertama, Kiai Ma’ruf meminta fatwa memandikan jenazah Covid-19 dalam kondisi yang tidak memungkinkan; dan kedua, terkait wudhu/tayamum untuk shalat tenaga medis Covid-19 karena harus menggunakan APD lengkap selama delapan jam penuh.
Sebagaimana diketahui, APD merupakan alat yang wajib digunakan untuk meningkatkan keselamatan diri tenaga medis dan sudah menjadi standard perlindungan diri agar tidak tertular Covid-19. APD tersebut meliputi baju hazmat, kacamata-google, penutup kepala, masker N-95, sarung tangan, serta sepatu boot.
Mengingat APD ini harganya cukup mahal dan hanya dipakai satu kali, maka pemakaiannya berlangsung selama satu shift yaitu enam sampai tujuh jam. Bagi petugas yang mendapatkan jatah shift pagi pukul 08.00-14.00, tentu bukan sebuah masalah. Namun akan menjadi beda bila shift pukul 14.00-21.00 karena melewatkan shalat Ashar dan Maghrib.
“Pada dasarnya, tenaga medis dan dokter yang mengurus pasien Covid-19 itu tetap berkewajiban melaksanakan shalat fardhu lima waktu karena kewajiban shalat tidak dapat digugurkan oleh ruang, waktu, dan keadaan, sesuai Firman Allah SWT dalam Quran Surat An-Nisa ayat 103,” ujar LBM NU.
Namun, tenaga medis yang mendapatkan shift siang sampai malam tersebut, tutur LBM PBNU, sudah masuk dalam kondisi masyaqqah (kesulitan), sehingga berhak mendapatkan rukhsah (dispensasi). Untuk itu, menurut kajian LBM PBNU, dalam menjalankan kewajiban shalatnya, petugas medis Covid-19 bisa memilih beberapa opsi.
Pertama, karena saat ini tenaga medis Covid-19 berada dalam kondisi mendesak (lil hajah), maka tenaga medis tersebut boleh melakukan shalat jama’ asal tidak dilakukan secara rutin terus-menerus.
Ketentuan ini sejalan dengan Hadist Riwayat Bukhari serta diperinci oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari juz II halaman 24. Kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdab Juz 5 halaman 503-505, juga menyampaikan bahwa Imam Ibnu Sirin membolehkan jama’ lil hajah dengan ketentuan serupa yaitu asal tidak dijadikan kebiasaan.
Opsi kedua, kata LBM NU, petugas medis tersebut bisa tetap menjalankan shalat sesuai waktunya, tanpa harus menjama’, meskipun dalam keadaan tidak suci (hadats), karena tidak dapat berwudhu atau tayamum, tidak bisa sujud, atau badan/pakaian terkena najis, dan lainnya.
“Mereka dapat melaksanakan semampunya untuk menghormati waktu shalat (lihurmatil waqti),” katanya.
Pada opsi kedua ini, yakni tetap shalat dalam kondisi tidak suci, pendapat ulama ada dua. Pertama, shalat tersebut harus diganti atau diulang di lain waktu yang memungkinkan. Ini sejalan dengan pandangan Imam Syafi’i yang mengatakan orang yang menjalankan shalat lihurmatil waqti tetap wajib mengulang atau mengqodho’ shalatnya bila sudah dalam kondisi memungkinkan.
“Karena kesibukan yang dialami oleh dokter dan tenaga medis pasien covid-19 hanya terjadi pada saat wabah saja, tidak dijadikan kebiasaan, sehingga kewajiban mengulang shalat yang dilaksanakan secara tidak sempurna pada waktunya tetap berlaku,” tulis LBM NU.
Sementara pendapat lain mengatakan, shalat lihurmatil waqti tersebut tidak perlu diulang atau diqodho’. Ini sesuai dengan kitab karangan Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab juz II, halaman 303 sampai 304.
Pendapaat terakhir yang menyatakan tetap menjalankan shalat ketika masuk waktunya sesuai dengan keadaan dan tidak wajib mengulanginya (mengqodlo) ini dianggap lebih kuat dalilnya. Hal ini disampaikan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitabnya Syarhu Shaihil Muslim bin al-Hajjaj Juz III halaman 103.
“Atas pertimbangan ini, maka tenaga medis yang memakai APD dapat juga memilih pendapat yang menyatakan wajibnya shalat seketika itu sesuai keadaannya, tanpa harus mengulang atau meng-qodho,” pungkas LBM NU. (marlin)
Jawaban tersebut muncul setelah sehari sebelumnya, usai bertemu dengan pimpinan BNPB, Wapres RI KH. MA’ruf Amin menyampaikan permintaan kepada Ormas Islam di Indonesia dan MUI untuk membahas hukum/fatwa dua perkara. Pertama, Kiai Ma’ruf meminta fatwa memandikan jenazah Covid-19 dalam kondisi yang tidak memungkinkan; dan kedua, terkait wudhu/tayamum untuk shalat tenaga medis Covid-19 karena harus menggunakan APD lengkap selama delapan jam penuh.
Sebagaimana diketahui, APD merupakan alat yang wajib digunakan untuk meningkatkan keselamatan diri tenaga medis dan sudah menjadi standard perlindungan diri agar tidak tertular Covid-19. APD tersebut meliputi baju hazmat, kacamata-google, penutup kepala, masker N-95, sarung tangan, serta sepatu boot.
Mengingat APD ini harganya cukup mahal dan hanya dipakai satu kali, maka pemakaiannya berlangsung selama satu shift yaitu enam sampai tujuh jam. Bagi petugas yang mendapatkan jatah shift pagi pukul 08.00-14.00, tentu bukan sebuah masalah. Namun akan menjadi beda bila shift pukul 14.00-21.00 karena melewatkan shalat Ashar dan Maghrib.
“Pada dasarnya, tenaga medis dan dokter yang mengurus pasien Covid-19 itu tetap berkewajiban melaksanakan shalat fardhu lima waktu karena kewajiban shalat tidak dapat digugurkan oleh ruang, waktu, dan keadaan, sesuai Firman Allah SWT dalam Quran Surat An-Nisa ayat 103,” ujar LBM NU.
Namun, tenaga medis yang mendapatkan shift siang sampai malam tersebut, tutur LBM PBNU, sudah masuk dalam kondisi masyaqqah (kesulitan), sehingga berhak mendapatkan rukhsah (dispensasi). Untuk itu, menurut kajian LBM PBNU, dalam menjalankan kewajiban shalatnya, petugas medis Covid-19 bisa memilih beberapa opsi.
Pertama, karena saat ini tenaga medis Covid-19 berada dalam kondisi mendesak (lil hajah), maka tenaga medis tersebut boleh melakukan shalat jama’ asal tidak dilakukan secara rutin terus-menerus.
Ketentuan ini sejalan dengan Hadist Riwayat Bukhari serta diperinci oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari juz II halaman 24. Kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdab Juz 5 halaman 503-505, juga menyampaikan bahwa Imam Ibnu Sirin membolehkan jama’ lil hajah dengan ketentuan serupa yaitu asal tidak dijadikan kebiasaan.
Opsi kedua, kata LBM NU, petugas medis tersebut bisa tetap menjalankan shalat sesuai waktunya, tanpa harus menjama’, meskipun dalam keadaan tidak suci (hadats), karena tidak dapat berwudhu atau tayamum, tidak bisa sujud, atau badan/pakaian terkena najis, dan lainnya.
“Mereka dapat melaksanakan semampunya untuk menghormati waktu shalat (lihurmatil waqti),” katanya.
Pada opsi kedua ini, yakni tetap shalat dalam kondisi tidak suci, pendapat ulama ada dua. Pertama, shalat tersebut harus diganti atau diulang di lain waktu yang memungkinkan. Ini sejalan dengan pandangan Imam Syafi’i yang mengatakan orang yang menjalankan shalat lihurmatil waqti tetap wajib mengulang atau mengqodho’ shalatnya bila sudah dalam kondisi memungkinkan.
“Karena kesibukan yang dialami oleh dokter dan tenaga medis pasien covid-19 hanya terjadi pada saat wabah saja, tidak dijadikan kebiasaan, sehingga kewajiban mengulang shalat yang dilaksanakan secara tidak sempurna pada waktunya tetap berlaku,” tulis LBM NU.
Sementara pendapat lain mengatakan, shalat lihurmatil waqti tersebut tidak perlu diulang atau diqodho’. Ini sesuai dengan kitab karangan Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab juz II, halaman 303 sampai 304.
Pendapaat terakhir yang menyatakan tetap menjalankan shalat ketika masuk waktunya sesuai dengan keadaan dan tidak wajib mengulanginya (mengqodlo) ini dianggap lebih kuat dalilnya. Hal ini disampaikan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitabnya Syarhu Shaihil Muslim bin al-Hajjaj Juz III halaman 103.
“Atas pertimbangan ini, maka tenaga medis yang memakai APD dapat juga memilih pendapat yang menyatakan wajibnya shalat seketika itu sesuai keadaannya, tanpa harus mengulang atau meng-qodho,” pungkas LBM NU. (marlin)
Tags
Wapres RI