PATROLI HUKUM.com, Jakarta – Maraknya oknum aparat mempermainkan kasus yang masuk ke meja polisi menjadi perhatian sekaligus keprihatinan bagi publik. Tidak ketinggalan, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA juga menyatakan sangat prihatin atas banyaknya oknum aparat kepolisian yang mempermainkan rakyat yang sedang menghadapi masalah di meja penyidik Polri.
“Salah satu modus operandinya adalah dengan memutar-mutar masalah oleh penyidik hingga merembet ke persoalan lain yang tidak ada relevansinya dengan substansi kasus yang dilaporkan,” ujar Wilson Lalengke kepada pewarta media ini, Kamis, 13 Februari 2020.
Contoh kongkritnya, kata Wilson, seorang warga dilaporkan atas dugaan melakukan pemalsuan dokumen tentang pengangkatan kembali jajaran direksi sebuah perusahaan. Diduga dokumen palsu, karena dokumen yang dibuat di depan notaris itu bukan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan juga tidak sepengetahuan jajaran komisaris perusahaan tersebut.
“Itu adalah kasus real yang sedang berproses di Bareskrim Polri saat ini. Komisaris sebuah perusahaan di Cikande, Banten, melaporkan jajaran direksinya ke Bareskrim Polri dengan delik aduan pemalsuan dokumen tentang pengangkatan kembali jajaran direksi. Namun dalam pembuatan BAP oleh oknum penyidik, para terlapor ditanyakan tentang operasional perusahaan. Penyidik bukannya menyelidiki tentang dugaan pemalsuan dokumen, tetapi lebih fokus kepada kegiatan operasional dan omset perusahaan,” ungkap Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Modus BAP model ini, sambung Wilson, merupakan strategi para oknum penyidik untuk menjebak dan menggiring para terlapor agar membuka data-data perusahaan, terutama terkait dengan besaran harta dan aset yang dimiliki perusahaan. Syukur-syukur dalam proses tanya-jawab BAP itu, para terlapor keseleo lidah dan terjebak untuk ditelusuri kesalahan lainnya lagi yang tidak terkait kasus yang dilaporkan.
“Ini modus. Sudah jelas pertanyaan polisi tidak relevan dengan esensi kasus yang dilaporkan. Tapi si oknum melihat peluang untuk meraup keuntungan material dari kasus itu. Mereka melihat peluang menambang duit dari perusahaan tersebut melalui pola delapan-enam alias – sadar maupun tidak sadar – terjadinya transaksi finansial atas kasus yang sedang ditangani. Yang disasar untuk ditekan agar memberikan setoran bisa siterlapor, bisa juga sipelapor,” urai Wilson menjelaskan modus umum para oknum polisi memainkan kasus-kasus yang mereka tangani.
Dari kasus yang sedang menjadi perhatiannya di Bareskrim itu, lanjut Wilson, dia juga menduga adanya “siraman finansial” yang telah dilakukan pelapor ke para oknum di unit Bareskrim Polri. “Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa dua unit di institusi Polri, yakni Ditlantas dan Bareskrim, merupakan lahan basah alias banyak peluang mendapatkan setoran 86,” ujar Wilson menirukan ucapan seorang jenderal polisi berbintang dua berinisial RS pada bincang santai beberapa tahun lalu. “Jadi, bukan hal yang aneh kalau banyak oknum aparat yang bertugas di dua unit itu hidupnya bergelimang harta, lah setiap kasus yang dilaporkan ke sana hampir pasti disisipi amplop angpau. Pungli di jalan-jalan oleh oknum polantas masih marak terjadi hingga hari ini,” tambah Wilson lagi.
Pada ratusan kasus yang menimpa para jurnalis yang dilaporkan ke Reskrim Polri, hampir pasti akan bergulir hingga ke pengadilan. Si wartawan yang apes itu pasti dipidana, minimal 6 bulan, walaupun wartawan dilindungi UU Pers.
“Penyebab utamanya, yaa, karena wartawan-wartawan itu kere alias miskin, tidak punya uang untuk menyiram para oknum haus duit tersebut,” tegas tokoh pers nasional yang sudah melatih ribuan anggota TNI, Polri, ASN, Mahasiswa, LSM, wartawan, dan masyarakat umum di bidang jurnalistik ini.
Wilson Lalengke yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) ini mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebanyakan oknum polisi yang menurutnya “mata duitan” itu. Pasalnya, laporan wartawan Sinar Pagi, Hariyawan, korban pengeroyokan segerombolan polisi pada 24 September 2019 lalu, hingga hari ini masih membeku di bawah meja polisi. Demikian juga, kasus penusukan warga PPWI Jhoni Napitupu yang dilaporkan ke Polsek Cilincing, Jakarta Utara, pada 27 Oktober 2019, hingga kini tidak digubris polisi. Bahkan, laporan Wilson sendiri ke Polres Jakarta Pusat dengan terlapor mantan ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo pada Agustus 2018, alhamdulillah hingga kini tidak jelas ujung-nya.
“Mengapa tidak diproses polisi? Yaa, pasti malaslah mereka menanganinya, tak ada siraman jasmani dari para pelapor. Saya tidak punya uang untuk diberikan ke oknum-oknum penyidik itu, makanya laporan kita dianggap angin lalu,” ucap Wilson dengan nada kecewa.
Untuk memperbaiki kondisi ini, saran Wilson, dirinya berharap banyak kepada Kapolri baru Jenderal Polisi Idham Azis untuk melakukan pembenahan di semua lini jajaran Kepolisian Republik Indonesia. “Salah satu program prioritas Kapolri saat ini adalah peningkatan SDM (Polri) yang unggul. Saya berharap banyak, program yang diletakkan pada urutan nomor 1 di antara tujuh program prioritas Kapolri ini benar-benar dilakukan. Setiap anggota Polri harus unggul, tidak hanya di bidang profesi kepolisiannya, tapi yang lebih penting adalah di bidang moralitasnya sebagai polisi. Kita rindu sosok Polisi Hoegeng yang hidup sederhana dan jujur, tidak mata duitan!” pungkas lulusan pascasarjana Applied Ethics dari Utrecht University Belanda dan Linkoping University Swedia itu. (Marlin)
“Salah satu modus operandinya adalah dengan memutar-mutar masalah oleh penyidik hingga merembet ke persoalan lain yang tidak ada relevansinya dengan substansi kasus yang dilaporkan,” ujar Wilson Lalengke kepada pewarta media ini, Kamis, 13 Februari 2020.
Contoh kongkritnya, kata Wilson, seorang warga dilaporkan atas dugaan melakukan pemalsuan dokumen tentang pengangkatan kembali jajaran direksi sebuah perusahaan. Diduga dokumen palsu, karena dokumen yang dibuat di depan notaris itu bukan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan juga tidak sepengetahuan jajaran komisaris perusahaan tersebut.
“Itu adalah kasus real yang sedang berproses di Bareskrim Polri saat ini. Komisaris sebuah perusahaan di Cikande, Banten, melaporkan jajaran direksinya ke Bareskrim Polri dengan delik aduan pemalsuan dokumen tentang pengangkatan kembali jajaran direksi. Namun dalam pembuatan BAP oleh oknum penyidik, para terlapor ditanyakan tentang operasional perusahaan. Penyidik bukannya menyelidiki tentang dugaan pemalsuan dokumen, tetapi lebih fokus kepada kegiatan operasional dan omset perusahaan,” ungkap Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Modus BAP model ini, sambung Wilson, merupakan strategi para oknum penyidik untuk menjebak dan menggiring para terlapor agar membuka data-data perusahaan, terutama terkait dengan besaran harta dan aset yang dimiliki perusahaan. Syukur-syukur dalam proses tanya-jawab BAP itu, para terlapor keseleo lidah dan terjebak untuk ditelusuri kesalahan lainnya lagi yang tidak terkait kasus yang dilaporkan.
“Ini modus. Sudah jelas pertanyaan polisi tidak relevan dengan esensi kasus yang dilaporkan. Tapi si oknum melihat peluang untuk meraup keuntungan material dari kasus itu. Mereka melihat peluang menambang duit dari perusahaan tersebut melalui pola delapan-enam alias – sadar maupun tidak sadar – terjadinya transaksi finansial atas kasus yang sedang ditangani. Yang disasar untuk ditekan agar memberikan setoran bisa siterlapor, bisa juga sipelapor,” urai Wilson menjelaskan modus umum para oknum polisi memainkan kasus-kasus yang mereka tangani.
Dari kasus yang sedang menjadi perhatiannya di Bareskrim itu, lanjut Wilson, dia juga menduga adanya “siraman finansial” yang telah dilakukan pelapor ke para oknum di unit Bareskrim Polri. “Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa dua unit di institusi Polri, yakni Ditlantas dan Bareskrim, merupakan lahan basah alias banyak peluang mendapatkan setoran 86,” ujar Wilson menirukan ucapan seorang jenderal polisi berbintang dua berinisial RS pada bincang santai beberapa tahun lalu. “Jadi, bukan hal yang aneh kalau banyak oknum aparat yang bertugas di dua unit itu hidupnya bergelimang harta, lah setiap kasus yang dilaporkan ke sana hampir pasti disisipi amplop angpau. Pungli di jalan-jalan oleh oknum polantas masih marak terjadi hingga hari ini,” tambah Wilson lagi.
Pada ratusan kasus yang menimpa para jurnalis yang dilaporkan ke Reskrim Polri, hampir pasti akan bergulir hingga ke pengadilan. Si wartawan yang apes itu pasti dipidana, minimal 6 bulan, walaupun wartawan dilindungi UU Pers.
“Penyebab utamanya, yaa, karena wartawan-wartawan itu kere alias miskin, tidak punya uang untuk menyiram para oknum haus duit tersebut,” tegas tokoh pers nasional yang sudah melatih ribuan anggota TNI, Polri, ASN, Mahasiswa, LSM, wartawan, dan masyarakat umum di bidang jurnalistik ini.
Wilson Lalengke yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) ini mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebanyakan oknum polisi yang menurutnya “mata duitan” itu. Pasalnya, laporan wartawan Sinar Pagi, Hariyawan, korban pengeroyokan segerombolan polisi pada 24 September 2019 lalu, hingga hari ini masih membeku di bawah meja polisi. Demikian juga, kasus penusukan warga PPWI Jhoni Napitupu yang dilaporkan ke Polsek Cilincing, Jakarta Utara, pada 27 Oktober 2019, hingga kini tidak digubris polisi. Bahkan, laporan Wilson sendiri ke Polres Jakarta Pusat dengan terlapor mantan ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo pada Agustus 2018, alhamdulillah hingga kini tidak jelas ujung-nya.
“Mengapa tidak diproses polisi? Yaa, pasti malaslah mereka menanganinya, tak ada siraman jasmani dari para pelapor. Saya tidak punya uang untuk diberikan ke oknum-oknum penyidik itu, makanya laporan kita dianggap angin lalu,” ucap Wilson dengan nada kecewa.
Untuk memperbaiki kondisi ini, saran Wilson, dirinya berharap banyak kepada Kapolri baru Jenderal Polisi Idham Azis untuk melakukan pembenahan di semua lini jajaran Kepolisian Republik Indonesia. “Salah satu program prioritas Kapolri saat ini adalah peningkatan SDM (Polri) yang unggul. Saya berharap banyak, program yang diletakkan pada urutan nomor 1 di antara tujuh program prioritas Kapolri ini benar-benar dilakukan. Setiap anggota Polri harus unggul, tidak hanya di bidang profesi kepolisiannya, tapi yang lebih penting adalah di bidang moralitasnya sebagai polisi. Kita rindu sosok Polisi Hoegeng yang hidup sederhana dan jujur, tidak mata duitan!” pungkas lulusan pascasarjana Applied Ethics dari Utrecht University Belanda dan Linkoping University Swedia itu. (Marlin)
Tags
PPWI